Cari Blog Ini

Jumat, 23 Desember 2011

Tahap Proses Metamorfosis Kupu-kupu

Metamorfosis adalah suatu proses perkembangan biologi pada hewan yang melibatkan perubahan penampilan fisik dan/atau struktur setelah kelahiran atau penetasan. Perubahan fisik itu terjadi akibat pertumbuhan sel dan differensiasi sel yang secara radikal berbeda.

Proses metamorfosis kupu-kupu cukup panjang dan lama namum sederhana. Pertama-tama mulai dari telur yang di letakkan oleh kupu-kupu pada daun (biasanya daun pohon jeruk atau dapat juga pohon yang lain) yang bertujuan nantinya daun tersebut bisa menjadi bahan makanan ulat tersebut hingga mencapai dewasa setelah tiba waktunya menjadi pupa/ kepompong dan dalam beberapa hari akan menjadi kupu-kupu baru.

TELUR

Telur akan menetas antara 3 – 5 hari, larva akan berjalan ke pinggir daun tumbuhan inang dan memulai memakannya. Sebagian larva mengkonsumsi cangkang telur yang kosong sebagai makanan pertamanya Kulit luar dari larva tidak meregang mengikuti pertumbuhannya, tetapi ketika menjadi sangat ketat larva akan berganti kulit.

LARVA (ULAT)

Setelah menetas larva akan mencari makan Sebagian larva mengkonsumsi cangkang telur yang kosong sebagai makanan pertamanya. Kulit luar dari larva tidak meregang mengikuti pertumbuhannya, tetapi ketika menjadi sangat ketat larva akan berganti kulit.

Jumlah pergantian kulit selama hidup larva umumnya 4 – 6 kali, dan periode antara pergantian kulit (molting) disebut instar.

Larva kupu-kupu bervariasi dalam bentuk, tetapi pada sebagian besar berbentuk silindris, dan terkadang memepunyai rambut, duri, tuberkel atau filamen.

Ketika larva mencapai pertumbuhan maksimal, larva akan berhenti makan, berjalan mencari tempat berlindung terdekat, melekatkan diri pada ranting atau daun dengan anyaman benang. Larva telah memasuki fase prepupa dan melepaskan kulit terakhir kali untuk membentuk pupa.

Pupa ( kepompong)

Fase pupa kalau dilihat dari luar seperti periode istirahat, padahal di dalam pupa terjadi proses pembentukan serangga yang sempurna. Pupa pada umumnya keras, halus dan berupa suatu struktur tanpa anggota tubuh. Pada umumnya pupa berwarna hijau, coklat atau warna sesuai dengan sekitarnya. (berkamuflase) . Pembentukan kupu-kupu di dalam pupa biasanya berlangsung selama 7 – 20 hari tergantung spesiesnya

Kupu-kupu

Setelah keluar dari pupa, kupu-kupu akan merangkak ke atas sehingga sayapnya yang lemah, kusut dan agak basah dapat menggantung ke bawah dan mengembang secara normal. Segera setelah sayap mengering,mengembang dan kuat, sayap akan membuka dan menutup beberapa kali dan percobaan terbang.

Fase imago atau kupu-kupu adalah fase dewasa

PERILAKU KUPU-KUPU:

Kupu-kupu merupakan serangga yang melakukan aktivitas pada siang hari, pada malam hari kupu-kupu akan istirahat dan terlindungan daun pepohonan.

siang kupu-kupu makin aktif terbang dan melakukan aktivitas mencari makan dan berproduksi. Kegiatan mencari makan dilakukan sendiri-sendiri tetapi sering tampak kupu-kupu jantan dan batina terbang berpasangan dan pada saatnya akan melakukan kopulasi.

Selanjutnya induk kupu-kupu akan meletakkan telurnya pada tumbuhan inangnya. kupu-kupu yang rentang sayapnya kecil akan terbamg rendah antara 10 cm- 2 m. Sedangkan kupu-kupu yang rentang sayap lebih besar terbang lebih tinggi sampai ± 10 m. Pada kegiatan mencari makan, kupu-kupu akan hinggap pada bunga-bunga dan menjulurkan probosisnya.

Rabu, 21 Desember 2011

November, Data Terbaru Populasi Harimau Sumatra Diumumkan Senin, 31 Oktober 2011 17:38 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU - Sembilan lembaga yang melakukan survei pola distribusi Harimau Sumatera (Panthera tigris Sumatrae) segera mempublikasikan hasil survei yang sekaligus menjadi literatur terbaru tentang perkirakaan populasi harimau di Pulau Sumatera.

"Tim akan merilis hasil penelitian ini pada pekan kedua November 2011 dan akan menjadi literatur terbaru tentang data populasi Harimau Sumatra," kata Ketua Forum HarimauKita Hariyo Tabah Wibisono di Bengkulu, Senin (31/10).

Ia mengatakan, data yang menyebutkan populasi Harimau Sumatera sebanyak 400 ekor adalah hasil penelitian Tilson pada 1992 yang melakukan survei di lima taman nasional dan dua kawasan hutan lindung.

Lima kawasan taman nasional dan dua kawasan lindung atau hanya 16 persen dari total luas habitat Harimau Sumatra, menurut dia, tidak dapat dijadikan rujukan untuk menyimpulkan populasi satwa terancam punah itu.

Namun, survei serentak pada 2007 hingga 2009 oleh sembilan lembaga di 38 petakan yang mewakili 60 persen habitat harimau di Pulau Sumatra akan menghasilkan data baru tentang populasi satwa dilindung itu. Rencananya hasil survei itu akan dirilis dalam jurnal ilmiah internasional.

Sembilan lembaga yakni Wildlife Conservation Society (WCS), World Wildlife Fund (WWF), Flora and Fauna International (FFI), Zoological Society of London (ZSL), Yayasan Badak, Yayasan Leuser, Yayasan Pelestari dan Konservasi Harimau Sumatra (PKHS), Kent University dan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan.

"Bentang alam yang disurvei secara menyeluruh seluas 140 ribu kilometer persegi, meliputi semua habitat utama di Pulau Sumatera, mulai dari Leuser hingga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan," tambahnya.

Hasil penelitian dengan menggunakan metode jejak sebagai tanda keberadaan harimau itu akan menjadi literatur baru dalam berbagai versi populasi harimau Sumatera.

Selain metode jejak, tim yang melakukan survei juga meneliti urine dan cakaran harimau di 27 bentang alam yang disurvei, setelah sebelumnya mendapat foto dari hasil kamera trap.

"Khusus di 27 petakan memang sudah dilakukan survei awal seperti foto hasil kamera trap, jejak, adanya konflik, juga dari informasi masyarakat sekitar hutan," ujarnya.

Habitat Harimau

Hariyo mengatakan habitat Harimau Sumatra terbagi dalam dua wilayah yakni kawasan inti dan kawasan bentang alam. Penelitian di kawasan inti kata dia dengan memasang kamera trap bertujuan mendeteksi perubahan dinamika populasi.

Survei ini kata dia, idealnya dilakukan setiap tiga tahun, sebab harimau membutuhkan waktu antara dua hingga tiga tahun dalam sistim reproduksi hingga mandiri. "Sedangkan metode jejak untuk mengetahui sebaran harimau sebaiknya diulang setiap lima tahun sehingga data tetap relevan," tambahnya.

Ia menambahkan, secara umum survei tersebut juga meneliti faktor-faktor utama yang mempengaruhi pola sebaran harimau sehingga menjadi panduan dalam penanganan ancaman terhadap habitat harimau yang sebagian besar terganggu akibat perambahan.

Perubahan fungsi hutan, baik secara legal maupun ilegal menurutnya menjadi ancaman utama terhadap eksistensi Harimau Sumatera.

"Fragmentasi kawasan membuat habitatnya terganggu dan konflik semakin tinggi, ancaman perburuan juga semakin meningkat. Kami juga akan membuat rekomendasi tentang langkah-langkah penanganan dalam penyelamatan Harimau Sumatera," ujarnya.
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Antara

STMIK AMIKOM

Makalah Zoologi Invertebrata/ Fillum Platyhelminthes

BAB I
PENDAHULUAN
Platyhelminthes adalah cacing daun yang umumnya bertubuh pipih. Platyhelminthes memiliki tubuh, lunak, dan epidermis bersilia. Cacing pipih merupakan hewan tripoblastik yang tidak mempunyai rongga tubuh (acoelomata). Hidup biasanya di air tawar, air laut, dan tanah lembab. Ada pula yang hidup sebagai parasit pada hewan dan manusia. Cacing parasit ini mempunyai lapisan kutikula dan silia yang hilang setelah dewasa. Hewan ini mempunyai alat pengisap yang mungkin disertai dengan kait untuk menempel. Cacing pipih belum mempunyai sistem peredaran darah dan sistem pernafasan. Sedangkan sistem pencernaannya tidak sempurna, tanpa anus. Platyhelminthes terbagi dalam 3 kelas, yaitu Kelas Turbellaria, Kelas Trematoda dan kelas Cestoda. Untuk lebih mengetahui lebih jauh mengenai hewan-hewan dalam kelas ini, maka akan di bahas dalam bab II.
BAB II
PEMBAHASAN
Platyhelminthes (cacing pipih) dibedakan menjadi 3 kelas yaitu Turbellaria (cacing berambut getar), Trematoda (cacing isap), dan Cestoda (cacing pita). Berikut akan dijelaskan satu-persatu.

A. KELAS TURBELLARIA
Hewan dari kelas Turbellaria memiliki tubuh bentuk tongkat atau bentuk rabdit (Yunani : rabdit = tongkat). Hewan ini biasanya hidup di air tawar yang jernih, air laut atau tempat lembab dan jarang sebagai parasit. Tubuh memiliki dua mata dan tanpa alat hisap.
Hewan ini mempunyai kemampuan yang besar untuk beregenerasi dengan cara memotong tubuhnya. Contoh Turbellaria antara lain Planaria dengan ukuran tubuh kira-kira 0,5 – 1,0 cm yang mempunyai panjang tubuh sampai 60 cm dan hanya keluar di malam hari.
Permukaan tubuh Planaria bersilia dan kira-kira di tengah mulut terdapat proboscis (tenggorok yang dapat ditonjolkan keluar) seperti pada gambar berikut.
Gambar. Proboscis pada Planaria Cacing pipih belum mempunyai sistem peredaran darah dan sistem pernafasan. Sedangkan sistem pencernaannya tidak sempurna, tanpa anus. Contoh Platyhelmintes adalah Planaria. Planaria mempunyai sistem pencernaan yang terdiri dari mulut, faring, usus (intestine) yang bercabang 3 yakni satu cabang ke arah anterior dan 2 cabang lagi ke bagian samping tubuh. Percabangan ini berfungsi untuk peredaran bahan makanan dan memperluas bidang penguapan. Planaria tidak memiliki anus pada saluran pencernaan makanan sehingga buangan yang tidak tercerna dikeluarkan melalui mulut. Perhatikan gambar susunan saluran pencernaan Planaria berikut ini.
Gambar. Susunan saluran pencernaan Planaria Sistem ekskresi pada cacing pipih terdiri atas dua saluran eksresi yang memanjang bermuara ke pori-pori yang letaknya berderet-deret pada bagian dorsal (punggung). Kedua saluran eksresi tersebut bercabang-cabang dan berakhir pada sel-sel api (flame cell). Perhatikan gambar sistem eksresi dan sel api Planaria di bawah ini.
Gambar. a) Susunan saluran eksresi pada Planaria; b) Sel api (flame cell)
Sistem saraf berupa tangga tali yang terdiri dari sepasang ganglion otak di bagian anterior tubuh. Kedua ganglia ini dihubungkan oleh serabut-serabut saraf melintang dan dari masing-masing ganglion membentuk tangga tali saraf yang memanjang ke arah posterior. Kedua tali saraf ini bercabang-cabang ke seluruh tubuh. Perhatikan gambar sistem saraf Planaria berikut!
Sistem saraf Planaria Reproduksi pada cacing pipih seperti Planaria dapat secara aseksual dan secara seksual. Reproduksi aseksual (vegetatif) dengan regenerasi yakni memutuskan bagian tubuh. Sedangkan reproduksi seksual (generatif) dengan peleburan dua sel kelamin pada hewan yang bersifat hemafrodit. Sistem reproduksi seksual pada Planaria terdiri atas sistem reproduksi betina meliputi ovum, saluran ovum, kelenjar kuning telur. Sedangkan reproduksi jantan terdiri atas testis, pori genital dan penis. Perhatikan gambar sistem reproduksi Planaria.
Gambar. Sistem reproduksi Planaria Selanjutnya perhatikan gambar reproduksi aseksual Planaria di bawah ini!
Gambar. Reproduksi aseksual Planaria A. Terpotong secara alami B. Dibelah dua C. Dibelah tiga.

B. KELAS TREMATODA
Hewan Trematoda memiliki tubuh yang diliputi kutikula dan tak bersilia. Pada ujung anterior terdapat mulut dengan alat penghisap yang dilengkapi kait. Tubuh dengan panjang lebih kurang 2,5 cm dan lebar 1cm serta simetris bilateral.
Trematoda termasuk hewan hemafrodit,dan sebagai parasit pada Vertebrata baik berupa ektoparasit (pada ikan) maupun sebagai endoparasit. Contoh hewan Trematoda adalah cacing hati atau Fasciola hepatica (parasit pada hati domba), Fasciola gigantica (parasit pada hati sapi) dan cacing hati parasit pada manusia (Chlonorchis sinensis) serta Schistosoma japonicum (cacingdarah).
Perhatikan gambar anatomi cacing hati (Fasciola hepatica) berikut!
Gambar. Anatomi Fasciola hepatica Isilah cacing hati umumnya hanya meninjuk kepada F. hepatica pada domba (jarang pada sapi) dan F. gigantica pada sapi (jarang pada domba). Fasciola mempunyai batil isap mulut. Mulut melanjut ke faring dan esophagus yang bercabang du, yang kemudian beranting-ranting banyak. Saluran pencernaannya adalah ruang gastrofaskular.
Sistem ekskresi dimulai dari sel-sel nyala (penyembur) terus ke saluran ekskresi longitudinal dan bermuara dibagian posterior. Sistem saraf berupa system saraf pada Planaria.
Sistem reproduksinya, Cacing ini bersifat hermafrodit. Cacing dewasa bertelur dalam saluran empedu dan kantong empedu sapi atau domba. Kemudian telur ini keluar bersama tinja. Dalam air mirasidium menetas, lalu memasuki tubuh siput air tawar. Dalam tubuh siput, mirasidum berubah menjadi sporokista. Dengan cara paedogenesis, maka dalam tubuh sporokista terbentuk banyak redia. Redia kemudian dari tubuh sporokista. Dengan cara paedagogis pula dalam tubuh redia terbentuk banyak serkaria yang berekor. Serkaria keluar dari tubuh redia, berenang, dan menempel pada tumbuhan air dan menjadi kista. Sapi atau domba tertular cacing hati, umumnya karena makan rumput dan tumbuhan air lainnya yang mengandung kista tersebut. Rumput yang tumbuh di tepi sungai atau rawa dan danau banyak mengandung kista tersebut.

C. KELAS CESTODA
Scolex of Taenia solium Cestoda adalah salah satu klass dari Phyllum Plathehelminthes, yang merupakan salah satu kelompok parasit pada ikan dan juga pada manusia. Parasit ini menyebabkan kerugian secara ekonomi terutama pada penurunan kualitas hasil perikanan, dan dapat merugikan kesehatan manusia. Pada parasit cacing dapat dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau ikan yaitu: Adanya parasit cacing dalam tubuh ikan menyebabkan terjadinya reaksi jaringan tubuh berupa pembengkakan jaringan yang dicirikan dengan “encapsulation” dari cacing pada jaringan tubuh ikan. Kegiatan manusia yang memasukkan cacing dari satu habitat kehabitat yang lain kemungkinan dapat menyebabkan tersebarnya penyakit(Epizootic) dan mortalitas pada populasi setempat. Parasit cacing adalah umum terdapat pada ikan laut , tetapi biasanya memperlihatkan status patogen yang jelas apabila kehadirannya dalam jumlah yang besar pada setiap induvidu inangnya (Sinderman, 1990).
Taxonomi
Tubuh terdiri dari bagian kepala yang disebut scolex dan bagian tubuh yang disebut strobila. Strobila terbentuk dari segmen yang tersusun dari proglottid. Makanan diambil diambil melalui tegument. Cestodaria mempunyai ciri berupa strobila yang berbentuk daun, seperti yang ditemukan pada ratfish dan Sturgeon untuk species Gyrocotyle urna, dengan ukuran dapat mencapai 1,2 cm (Möler dan Anders 1986). Sedangkan eucestoda mempunyai strobila yang panjang, dapat mencapai 12 m, pada species Diphylobothrium latum yang dapat menginfeksi manusia. Selain manusia, mamalia lainnya yang memakan ikan dapat diinfeksi oleh parasit ini seperti kucing, anjing, babi dan beruang (Schistosome Research Group Cam.University 1998).
Siklus hidup Siklus hidup pada Cestoda yang menginfeksi ikan, membutuhkan lebih dari satu inang perantara yaitu mamalia atau vertebrata. Parasit ini hidup di dalam intestin dan lambung inangnya. Cestoda adalah hewan yang hemaprodit. Tubuh terdiri dari bagian kepala yang disebut Scolex dan bagian badan yang disebut strobila. Strobila merupakan deretan segmen yang disebut proglottid-proglottid. Setiap proglottid mempunyai sepasang sel kelamin jantan dan betina dan dapat melepaskan/menghasilkan telur. Telur-telur ini dibuahi dengan cara pembuahan sendiri (self fertilisation) yaitu sel telur dibuahi oleh sel sperma dalam proglottid yang sama, perkawinan antara proglottid yang satu dengan yang lain pada strobila yang sama atau perkawinan antara proglottid dari strobila yang berbeda (Hickman 1967). Jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh satu ekor cacing seperti pada D. latum dapat mencapai 1.000.000 butir perhari dengan jumlah proglottid yang dapat mencapai 3.000 buah, dengan panjang strobila lebih dari 10 m. Telur yang terbawah oleh kotoran yang masuk keperairan akan menetas dan membentuk Coracidium yang diperlengkapi silia untuk berenang bebas. Copepoda yang ada diperairan kemudian diinfeksi oleh Coracidium yang berubah menjadi procercoid. Procercoid termakan oleh ikan bersama Copepoda dan berubah menjadi Plerocercoid. Apabila ikan ini termakan oleh manusia atau hewan yang memungkinkan Cestoda tersebut dapat hidup, seperti ikan yang tidak dimasak atau setengah matang sehingga larva cestoda masih tetap hidup, maka Cestoda akan menjadi dewasa dan siklus akan berlanjut. Jika ikan tersebut dimakan oleh ikan lain maka parasit tersebut pindah dan dapat hidup pada ikan tersebut tetapi tidak mengalami perkembangan. Sehingga ikan tersebut berfungsi sebagai paratenic host (inang transport) (Gambar ).
Gambar . Siklus hidup Diphylobothrium latum (Dikutip dari: Cam.University Schistosome Research Group, 2002)
Pengaruh / Kerugian Kerugian yang diakibatkan oleh Cestoda pada parasit ikan utamanya, pada industri perikanan. Setiap ekor ikan yang terinfeksi terdapat ratusan cacing pada ototnya sehingga cestoda ini biasa disebut “spaghetti worms” (Sindermann 1990). Pada budidaya ikan-ikan salmon yang diinfeksi oleh Eubothrium spp. sering mendatangkan masalah pada keramba jaring apung . Infeksi yang terjadi pada manusia seperti pada Cestoda dari ikan air tawar, Diphylobothrium latum dapat menyebabkan terjadi anemia dan kekurangan vitamin B12, bahkan dapat menghambat saluran pencernaan. Untuk menghindari parasit ini, ikan sebaiknya dimasak sempurna sehingga mematikan cacing yang terikut (Schistosome Research Group Cam.University 1998).


BAB III
KESIMPULAN
Hewan – hewan yang tergolong dalam filum Platyhelminthes memiliki struktur tubuh memanjang, simetri bilateral dengan struktur tubuh yang primitive. Banyak di antara hewan-hewan ini yang hidupnya parasitis dan menyerang beberapa beberapa jenis hewan Vertebrata. Beberapa jenis hewan Platyhelminthes hidup pada air tawar, air laut atau di daratan yang basah.




Daftar Pustaka :
- Brotowidjoyo,M.D. 1989. Zoologi Dasar. Erlangga: Jakarta - www.google.com http : //wikipedia.com/hewan-invertebrate/filum-platyhelminthes http : //wikipedia.com/gambar-hewan-platyhelminthes/turbellaria- trematoda-cestoda

Selasa, 20 Desember 2011

EKOLOGI HUTAN MANGROVE

A. Definisi Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung.
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8%.
Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus.

B. Faktor-faktor Lingkungan Hutan Mangrove
1. Fisiografi pantai
Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh.
2. Pasang
Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai berikut:
a. Lama pasang :
1) Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut
2) Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal.
3) Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi vertikal organisme
b. Durasi pasang :
1) Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.
2) Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya: penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.

c. Rentang pasang (tinggi pasang):
1) Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya
2) Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi.
3. Gelombang dan Arus
a. Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
b. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.
c. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove
d. Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut.
4. Iklim
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove adalah sebagai berikut:

a. Cahaya
1) Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove.
2) Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove.
3) Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya.
4) Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.
b. Curah hujan
1) 1Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove.
2) Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah.
3) Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun.
c. Suhu
1) Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi).
2) Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang.
3) Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28C.
4) Bruguiera tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26C.
d. Angin
1) Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus.
2) Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove.

5. Salinitas
a. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt.
b. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan.
c. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang.
d. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air.

6. Oksigen Terlarut
a. Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk kehidupannya.
b. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis.
c. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada malam hari.

7. Substrat
a. Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove.
b. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam/tebal dan berlumpur.
c. Vicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir.
d. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan.
e. Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan Avicennia/Sonneratia/Rhizophora/Bruguiera.
f. Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah.
g. Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca.

8. Hara
Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan organik.
a. Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na.
b. Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga).

C. Mangrove dan Tsunami
Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai. Berdasar karakteristik wilayahnya, pantai di sekitar kota Padang pun masih merupakan alur yang sama sebagai alur rawan gempa tsunami.



D. Mangrove dan Sedimentasi
Hutan mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai.

E. Mangrove dan Produktivitas Perikanan
Kebijakan pemerintah dalam menggalakkan komoditi ekspor udang, telah turut andil dalam merubah sistem pertambakan yang ada dalam wilayah kawasan hutan. Empang parit yang semula digarap oleh penggarap tambak petani setempat, berangsur beralih “kepemilikannya” ke pemilik modal, serta merubah menjadi tambak intensif yang tidak berhutan lagi.

F. Mangrove dan Kesehatan
Dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di Tanjung Karawang menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut. Dilaporkan bahwa nyamuk Anopheles sp., nyamuk jenis vektor penyakit malaria, ternyata makin meningkat populasinya seiring dengan makin
terbukanya pertambakan dalam areal mangrove. Ini mengindikasikan kemungkinan meningkatnya penularan malaria dengan makin terbukanya arealareal pertambakan perikanan. Kajian lain yang berkaitan dengan polutan, dilaporkan oleh Gunawan dan Anwar (2005) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove (silvofishery).

G. Mangrove dan Keanekaragaman Hayati
Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung. Gunawan (1995) menemukan 12 jenis satwa melata dan amphibia, 3 jenis mamalia, dan 53 jenis burung di hutan mangrove Arakan Wawontulap dan Pulau Mantehage di Sulawesi Utara.

Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
a. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah
b. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
1) Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
2) Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
3) Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
c. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.


H. Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri.

I. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
a. Fungsi ekologis :
1) pelindung garis pantai dari abrasi,
2) mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
3) mencegah intrusi air laut ke daratan,
4) tempat berpijah aneka biota laut,
5) tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga,
6) sebagai pengatur iklim mikro.
b. Fungsi ekonomis :
1) penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan),
2) penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna),
3) penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
4) pariwisata, penelitian, dan pendidikan.




Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.

EKOLOGI HUTAN RAWA GAMBUT

A. Definisi Rawa Gambut
Ekositem rawa gambut merupakan sebuah ekosistem yang unik yang lapisannya tersusun dari timbunan bahan organik mati yang terawetkan sejak ribuan tahun lalu, dan permukaan atasnya hidup berbagai jenis tumbuahan dan satwa liar. Jika bahan organik di bawahnya dan kehidupan diatasnya musnah, maka ekosistem ini tak dapat pulih kembali.

B. Mengenal Lahan Rawa
Lahan Rawa adalah lahan darat yang tergenang secara periodik atau terus menerus secara alami dalam waktu lama karena drainase (sistem pengairan air) terhambat. Meskipun dalam keadaan tergenang lahan ini tetap ditumbuhi oleh tumbuhan. Lahan ini dapat dibedakan dari danau/tasik, karena danau tergenang sepanjang tahun, genangannya lebih dalam dan tidak ditumbuhi oleh tanaman kecuali tumbuhan air. Genangan lahan rawa dapat disebabkan oleh pasangnya air laut, genangan air hujan, atau lupan air sungai. Berdasaran penyebab genangannya, lahan rawa dibagi menjadi tiga, yaitu rawa pasang surut, rawa lebak (rawa non pasang surut) dan rawak lebak peralihan.
1. Rawa pasang surut
Rawa pasang surut merupakan lahan rawa yang genangannya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Tingginya air pasang dibedakan menjadi dua, yaitu pasang besar dan pasang kecil. Pasng kecil, terjadi secara harian (1-2 kalisehari).
2. Rawa lebak
Rawa lebak adalah lahan rawa yang genangannya terjadi karena luapan air sungai dan atau air hujan di daerah cekungan pedalaman. Genangannya umumnya terjadi pada musim hujan dan menyusut pada musim kemarau.
3. Rawa lebak peralihan
Lahan rawa lebak yang pasang surutnya air laut masih terasa di saluran primer atau di sungai. Pada lahan sperti ini, endapan laut dicirikan oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada kedalaman 80 - 120 cm dibawah permukaan tanah. Berdasarkan Jenis Tanah, terdapat dua jenis tanah yaitu tanah mineral (Tanah aluvial dan gleihumus) dan tanah gambut (peat soils). Tanah mineral yang dijumpai di wilayah pasang surut umumnya terbentuk dari bahan endapan marin/laut karena proses pengendapan yang dipengaruhi oleh air laut. Pada wilayah agak ke pedalaman dimana pengaruh arus sungai cenderung kuat, tanah bagian atas terbentuk dari endapan sungai dan pada kedalaman tertentu terdapat bahan sulfidik (pirit).

C. Lahan Rawa Potensial dan Sulfat Masam
Lahan rawa yang tidak memiliki lapisan tanah gambut dan tidak memiliki lapisan pirit atau memiliki lapisan pirit pada kedalaman lebih dari 50 cm disebut sebagai lahan rawa potensial. Lahan ini merupakan rawa paling subur dan potensial untuk pertanian. Lahan ini didominasi oleh tanah aluvial hasil pengendapan oleh air hujan, air sungai, dan air laut.
Lahan rawa yang tidak memiliki lapisan tanah gambut dan tidak memiliki lapisan pirit atau memiliki lapisan pirit pada kedalaman kurang dari 50 cm disebut lahan aluvial bersulfida dangkal atau lahan sulfat masam potensial. Apabila lahan aluvial bersulfida memiliki lapisan gambut dengan ketebalan kurang kurang dari 50 cm disebut lahan aluvial bersulfida gambut. Lahan yang lapisan piritnya sudah teroksidasi disebut lahan bersulfat atau lahan sulfat masam aktual. Lahan ini tidak direkomendasikan untuk budi daya dan pertanian.

D. Kedalaman Lahan Gambut
- Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 50-100 cm;
- Lahan gambut sedang, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 100-200 cm;
- Lahan gambut dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 200-300 cm;
- Lahan gambut sangat dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut lebih dari 300 cm.

E. Sekilas Tentang Pirit
Tanah di daerah pantai terbentuk dari pengendapan dalam suasana payau dan asin. Tanah tersebut umumnya mengandung bahan sulfidik (FeS2) yang sering disebut pirit. Lapisan tanah yang mengandung pirit lebih dari 0,75% disebut lapisan pirit. Lapisan pirit ditandai; lahan dipenuhi tumbuhan purun tikus, di tanggul saluran terdapat bongkah tanah berwarna kuning jerami, pada saluran drainase terdapat air yang mengandung karat besi berwarna kuning kemerahan.

F. Sifat-sifat Tanah Rawa Gambut
1. Tingkat kematangan
Fibrik, yaitu gambut dengan tingkat pelapukan awal (masih muda) dan lebih dari ¾ bagian volumenya berupa serat segar (kasar); Hemik, yaitu gambut yang mempunyai tingkat pelapukan sedang (setengah matang), sebahagian bahan telah mengalami pelapukan dan sebahagian lagi berupa serat. Saprik, yaitu gambut yang tingkat pelapukannya sudah lanjut (matang).
2. Warna
Meskipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat, atau kemerahan tetapi setelah dekomposisi warna gambut menjadi lebih gelap, yang pada umumnya berwarna coklat hingga kehitaman. Warna gambut menjadi salah satu tingkat kematang gambut. Semakin matang, gambut semakin berwarna gelap, dan dalam keadaan basah warna gambut biasanya semakin gelap.
3. Kapasitas Menahan Air
Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga menpunyai daya menyerap air sangat besar hingga 850% dari berat keringnya (Suhardjo dan Dreissen, 1975). Oleh sebab itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penambat air (reservoir) yang dapat menahan banjir saat musim hujan dan melepaskan air saat musim kemarau sehingga intrusi air laut saat kemarau dapat dicegahnya.
4. Kering Tak Balik (Hydrophobia Irreversible)
Lahan gambut yang telah dibuka dan telah didrainase dengan membuat kanal atau parit, kandungan airnya menurun secara berlebihan. Penurunan air permukaan akan menyebabkan lahan gambut menjadi kekeringan. Gambut mempunyai sifat kering tak balik. Artinya, gambut yang sudah mengalami kekeringan yang ekstrim , akan sulit menyerap air kembali.
5. Daya Hantar Hidrolik
Gambut memiliki daya hantara hidrolik (penyaluran air) secara horizontal (mendatar) yang cepat sehingga memacu percepatan pencucian unsur-unsur hara ke saluran drainase. Sebaliknya, gamut memiliki daya hidrolik vertikal (keatas) yang sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah.
6. Daya Tumpu
Gambut memiliki tumpu atau daya dukung yang rendah karena mempunyai ruang pori yang besar sehingga kerapatan tanahnya rendah dan bobotnya ringan. Sebagai akibatnya, pohon yang tumbuh diatasnya menjadi mudah rebah.
7. Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence)
Setelah dilakukan reklamasi atau drainase , gambut berangsur akan kempis dan mengalami subsidence atau amblas, kondisi ini disebabkan oleh proses pematangan gambut dan berkurangnya kandungan air. Semakin tebal gambut, penurunan tersebut semakin cepat dan berlangsungnya semakin lama. Rata-rata kecepatan penurunan adalah 0,3 - 0,8 cm/bulan, dan terjadi selama 3-7 tahun setelah drainase.
8. Mudah Terbakar
Lahan gambut cenderung mudah terbakar, karena kandungan bahan organik yang tinggi dan memiliki sifat kering tak balik, porositas tinggi, dan daya hantar hidrolik vertikal yang rendah. Kebakaran di gambut sangat sulit untuk dipadamkan karena dapat menembus dibawah permukaan tanah.

G. Fisografi Lahan Gambut
Lahan gambut di Indonesia pada umumnya membentuk kubah gambut (peat dome). Pada bagian pinggiran kubah, didominasi oleh oleh tumbuhan kayu yang masih memperoleh pasokan hara dari air tanah dan sungai sehingga banyak jenisnya dan umumnya berdiameter besar. Hutan seperti itu, disebut hutan rawa campuran (mixed swamp forest).
Menuju ke bagian tengah, letak air tanah sudah terlalu dalam sehingga perakaran tumbuhan kayu hutan tidak mampu mencapainya. Akibatnya vegetasi hutan hanya memperoleh hara dari air hujan. Vegetasi mengalami perubahan, jenis-jenis kayu hutan semakin sedikit, relatif kurus dan rata-rata berdiameter kecil. Vegetasi hutan seperti itu disebut hutan padang. Gambut tebal yang terbentuk, umumnya bersifat masam dan miskin hara sehingga memiliki kesuburan alami yang rendah sampai sangat rendah. Perubahan dari wilayah pinggiran gambut yang relatif kaya hara menjadi wilayah gambut embrogen yang miskin, diperkirakan terjadi pada kedalaman gambut antara 200-300 cm (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).

H. Kesuburan Rawa Gambut
Kesuburan gambut dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Eutropik (subur), Mesotropik (sedang), dan Oligotopik (tidak subur). Secara umum gambut tapogen yang dangkal dan dipengaruhi air tanah dan sungai umumnya tergolong gambut mesotropik sampai eutropik sehingga mempunyai potensi kesuburan alami yang lebih baik dari pada gambut ombrogen (kesuburan hanya dipengaruhi oleh air hujan) yang sebagian besar oligotropik.
I. Faktor Yang Mempengaruhi Kesuburan Rawa Gambut
Tingkat kesuburan tanah gambut dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu ketebalan gambut, bahan asal, kualitas air, kematangan gambut dan kondisi tanah dibawah gambut. Secara umum, gambut yang berasal dari tumbuhan berbatang lunak lebih subur dari pada gambut yang berasal dari tumbuhan yang berkayu. Gambut yang lebih matang lebih subur dari pada gambut yang belum matang. Gambut yang mendapat luapan air sungai atau payau lebih subur dari pada gambut yang hanya memperoleh luapan atau curahan air hujan. Gambut yang terbentuk diatas lapisan liat/lumpur lebih subur dari pada gambut yang terdapat diatas pasir. Gambut dangkal lebih subur daripada gambut dalam.